Sunday, February 20, 2011

The Fiqh Of Facebook

As an avid Facebook user of a few years, I have tasted its fruits but also experienced the sickness of excess and felt the danger of getting lost among the trees. Whenever Muslims are faced with a new environment, they enter it carrying their principles with them. We also need a sound understanding (fiqh) of the realities of this environment and how to handle some of its specifics.

If time is life, then Facebook is many people’s favorite weapon of suicide. We struggle to find time to seek beneficial knowledge, yet trivial comments about trivial matters get more than their fair share. Someone remarked on Imam Suhaib Webb’s FB “wall” that we check out people’s latest FB updates more frequently than we check our Qur’an to take benefits from its verses. 

The technological aspects of Facebook, particularly with its ever-updating interface, can have an intoxicating effect. It is built upon the principle of maximal stimulation of the eyes and brain; it is not far from the imagination to compare it with hypnosis. All this has a long-term effect on the mind and on the spiritual heart.
What are the signs of excess? Specialists in addiction can list a few, but let me point out one thing that I believe is frighteningly common. I noticed once that when Twitter went down for a few hours then resumed, someone commented on the experience, writing: “When Twitter went down, all I wanted to do was tweet about it!” Ridiculous, yet I would suggest that it is quite representative of a common urge to use these media as a natural outlet for all our thoughts, desires and emotions. As I once wrote:

“We express our thoughts in the form of a status update instead of turning to Allah with our fears and joys. The day of a believer should be a constant conversation with God.”
Even when we are reading and forwarding religious content, if we do so with hearts unaware. To quote from Shaykh Abdallah Adhami’s FB comment: “By all means: share, post, sms, blog, im, email, tweet… (though most importantly, internalize)”. This is the point! If you read a supplication with your eyes, it is no use if your tongue remains dry and your heart remains silent. Is reading a du`a’ (supplication) anything like making du`a’?

Let’s be in no doubt that FB is a public space, though certain aspects (messaging) allow one-to-one communication. If Facebook is like a public street, doesn’t it have rights? The first is lowering the gaze: not just from unseemly images, but from everything that doesn’t concern you. Think about it as hundreds of conversations are presented before you.

The above FB Fiqh advice was based on a hadith (report concerning the Prophet ﷺ) reported in Sahih Muslim, in which Allah’s Messenger ﷺ questioned some people sitting in the road and instructed them to avoid doing so.  When these Companions explained their purpose, the Prophet ﷺ said: “If you must sit, then fulfill the rights of the road: lower your gaze, respond to greetings and talk in a good manner.”
Not only does Facebook make it all too easy to look at pictures of members of the opposite sex and personal details we have no business knowing, but it makes it tempting to pore through threads of comments that at best, are a complete waste our time, and at worst, involve a level of prying. Just as we take responsibility for what we post, we should also be ethical in what we access.

Privacy in general is a major and widely discussed issue of concern regarding Facebook, so a Muslim should be even more aware of the issue. Both sisters and brothers need to beware of broadcasting details that could be misused, and especially pictures in which they are more exposed than they ought to be in public. Even a “private” FB album is never truly private, when you think about it.

These few thoughts on Facebook Fiqh are by no means exhaustive, but I hope they provide a starting point to a greater consciousness and care when using new technology and emerging media.

Source : Suhaibwebb

p/s: kena buka mata hati selepas mata akal membaca. Facebook, Twitter dan teknologi seangkatan dengannya berpotensi menjadi pembunuh senyap kepada HATI malah boleh juga membunuh "pemerintah" seperti dalam kes mubarak..

Friday, February 18, 2011

HIV In More Detail Than You’ve Ever Seen It Before


“It’s hard to visualise what something as small and complex as the HIV virus actually looks like. But now Ivan Konstantinov and his team from Visual Science have created the most-detailed 3D model of the virus to date (see video above). An image of this visualisation just won first place in the 2010 International Science and Engineering Visualization Challenge, sponsored jointly by the journal Science and the National Science Foundation (NSF).  The model contains 17 different viral and cellular proteins and the membrane incorporates 160 thousand lipid molecules, of 8 different types, in the same proportions as in an actual HIV particle. It denotes the parts encoded by the virus’s own genome in orange, while grey shades indicate structures taken into the virus when it interacts with a human cell. To create the visualisation, the team consulted over 100 articles on HIV from leading science journals and talked to experts in the field. Then they reconstructed viral proteins from X-rays before assembling the structure of an entire HIV particle. The final appearance was achieved by experienced designers and 3D graphics specialists.”

            Read more : New Scientist TV: HIV as you’ve never seen it before

Wednesday, February 16, 2011

Keagungan & Kemuliaan Seorang Insan Bernama Muhammad

Salam dan selawat ke atas junjungan mulia nabi kita Muhammad saw. Perutusan baginda ternyata rahmat untuk sekalian alam sebesar-besar contoh dan teladan untuk umat manusia. Baginda adalah sebaik -baik contoh pimpinan agung, sahabat, suami malah suri ummah dalam segenap bidang kehidupan. Mari kita rehatkan  minda dengan sirah baginda yang saya petik daripada blog http://panduanislam.com/blog/category/ceritera-istimewa/. Moga bermanafaat.

Kalau ada pakaian yang koyak, Rasulullah menampalnya sendiri tanpa perlu menyuruh isterinya. Baginda juga memerah susu kambing untuk keperluan keluarga mahupun untuk dijual.

Setiap kali pulang ke rumah, bila dilihat tiada makanan yang sudah siap di masak untuk dimakan, sambil tersenyum baginda menyingsing lengan bajunya untuk membantu isterinya di dapur.

Sayidatina ‘Aisyah menceritakan: ”Kalau Nabi berada di rumah, baginda selalu membantu urusan rumahtangga.

Jika mendengar azan, beliau cepat-cepat berangkat ke masjid, dan cepat-cepat pulang kembali sesudah selesai sembahyang.”
Pernah baginda pulang pada waktu pagi. Tentulah baginda amat lapar waktu itu. Tetapi dilihatnya tiada apa pun yang ada untuk sarapan. Yang mentah pun tidak ada kerana Sayidatina ‘Aisyah belum ke pasar. Maka Nabi bertanya,
 
“Belum ada sarapan ya Humaira?” (Humaira adalah panggilan mesra untuk Sayidatina ‘Aisyah yang bererti ‘Putih yang kemerah-merahan’)

Aisyah menjawab dengan agak serba salah, “Belum ada apa-apa wahai Rasulullah.” Rasulullah lantas berkata,
”Kalau begitu aku puasa saja hari ini.” tanpa sedikit tergambar rasa kesal di wajahnya.

Pernah baginda bersabda, “sebaik-baik lelaki adalah yang paling baik dan lemah lembut terhadap isterinya.”

Prihatin, sabar dan tawadhuknya baginda sebagai kepala keluarga.

Pada suatu ketika baginda menjadi imam solat. Dilihat oleh para sahabat, pergerakan baginda antara satu rukun ke satu rukun yang lain amat sukar sekali. Dan mereka mendengar bunyi menggerutup seolah-olah sendi-sendi pada tubuh baginda yang mulia itu bergeser antara satu sama lain. Sayidina Umar yang tidak tahan melihat keadaan baginda itu langsung bertanya setelah selesai bersembahyang :
 
“Ya Rasulullah, kami melihat seolah-olah dirimu menanggung penderitaan yang amat berat, engkau sakitkah ya Rasulullah?”
 
“Tidak, ya Umar. Alhamdulillah, aku sihat dan segar”
 
“Ya Rasulullah… mengapa setiap kali dirimu menggerakkan tubuh, kami mendengar seolah-olah sendi bergesekan di tubuhmu?
 
Kami yakin engkau sedang sakit…” desak Umar penuh cemas.

Akhirnya Rasulullah mengangkat jubahnya. Para sahabat amat terkejut. Perut baginda yang kempis, kelihatan dililiti sehelai kain yang berisi batu kerikil, buat menahan rasa lapar. Batu-batu kecil itulah yang menimbulkan bunyi-bunyi halus setiap kali bergeraknya tubuh baginda.

“Ya Rasulullah! Adakah bila engkau menyatakan lapar dan tidak punya makanan, kami tidak akan mendapatkannya buatmu?”

Lalu baginda menjawab dengan lembut, ”Tidak para sahabatku. Aku tahu, engkau akan berkorban apa sahaja demi Rasulmu. Tetapi apakah yang akan aku jawab di hadapan ALLAH nanti, apabila aku sebagai pemimpin, menjadi beban kepada umatnya?” “Biarlah kelaparan ini sebagai hadiah ALLAH buatku, agar umatku kelak tidak ada yang kelaparan di dunia ini lebih-lebih lagi tiada yang kelaparan di Akhirat kelak.”
 
Baginda pernah tanpa rasa apa-apa sedikitpun makan di sebelah seorang tua Arab Badwi yang penuh kudis, miskin dan kotor.

Dan dengan penuh rasa kehambaan baginda membasuh tempat yang dikencingi si tua Arab Badwi di dalam masjid sebelum menegur dengan lembut perbuatan itu.

Kecintaannya yang tinggi terhadap ALLAH SWT dan rasa kehambaan dalam diri Rasulullah SAW menolak sama sekali rasa ketuanan.

Anugerah kemuliaan dari ALLAH tidak dijadikan sebab untuk merasa lebih dari yang lain, ketika di hadapan umum mahupun dalam keseorangan.

Ketika pintu Syurga telah terbuka seluas-luasnya untuk baginda, baginda masih berdiri di waktu-waktu sepi malam hari, terus-menerus beribadah, hingga pernah baginda terjatuh, lantaran kakinya sudah bengkak-bengkak. Bila ditanya oleh Sayidatina ‘Aisyah, “Ya Rasulullah, bukankah engkau telah dijamin Syurga? Mengapa engkau masih bersusah payah begini?”

Jawab baginda dengan lunak, “Ya ‘Aisyah, bukankah aku ini hanyalah seorang hamba? Sesungguhnya aku ingin menjadi hamba-Nya yang bersyukur.” 
 
Oleh itu kepada pembaca dan pelawat semua, marilah kita mengenang akan insan yang agung lagi mulia ini dengan berselawat ke atasnya untuk memperolah syafaat darinya. Bukan hanya pada Hari Kelahirannya sahaja, tetapi pada setiap hari. Wallahulam…
 
 

Anak Saudara Isteri: Adakah Harus Bersalaman Dengannya?

Soalan; Salam,  seorang lelaki telah berkahwin dengan seorang wanita...apakah hukum bersalaman dengan anak saudara isterinya yang sudah baligh (perempuan) adakah dibolehkan dan kenapa? begitulah sebaliknya bagi pihak perempuan pula (isteri).syukran

Jawapan;

Anak saudara isteri tidak termasuk dalam senarai mahram muabbad (yakni orang-orang yang haram dikahwini oleh seorang lelaki buat selamanya). Oleh itu, statusnya sama seperti wanita ajnabi yang lain iaitu tidak boleh bersentuhan dengannya (termasuk bersalaman), berdua-duaannya dengannya, melihat auratnya dan menemaninya untuk bermusafir.

Ikatan mahram wujud dengan tiga sebab;
1. Kekeluargaan
2. Perkahwinan
3. Penyusuan

Bagi ikatan mahram dengan sebab perkahwinan, hanya empat orang sahaja yang terbabit;
1. Ibu mertua
2. Anak menantu (yakni isteri kepada anak lelaki).
3. Anak tiri
4. Ibu tiri (yakni isteri bapa)

Oleh kerana anak saudara isteri tidak tersenarai dalam senarai mahram kerana perkahwinan di atas, ia kekal sebagai wanita ajnabi dan tertakluk dengan hukum-hakam wanita ajnabi tadi. Di antara mereka berdua (yakni antara suami dan anak saudara isteri) halal perkahwinan jika berlaku perpisahan antara suami dan isteri terbabit itu sama ada kerana kematian atau berlaku penceraian putus (yakni penceraian yang tidak boleh dirujuk tanpa akad baru).

Merujuk kepada soalan di atas, tidak harus suami bersalaman dengan anak saudara isterinya (perempuan) yang telah baligh kerana di antara mereka berdua tidak ada ikatan mahram muabbad.

Wallahu a'lam.

Saturday, February 12, 2011

Akses Fikrah: Antara Artikel Yang Mengundang Air Mata

Perkongsian artikel daripada weblog Ustaz Hasrizal Musuh Allah Berijazah Syariah

“Bagus tulisan ini. Bangun, siapa yang menulisnya!”, kata Dr. Mustafa Abu Zaid. Sahabat saya, Khair (bukan nama sebenar) bangun tersipu-sipu. Hampir 300 biji mata yang lain tertumpu kepadanya.

“Kamu pelajar tahun dua ya?”, tanya beliau kepada anak muridnya yang seorang ini.Khair mengangguk. 

“Kamu dari negeri mana di Malaysia?”, tanya Dr. Mustafa lagi.

“Saya dari Kelantan”, jawab Khair.

“Ohh, patutlah!”, simpul pensyarah kami.

Semua orang terpinga-pinga. Apakah yang Dr. Mustafa Abu Zaid maksudkan dengan “ohh patutlah” tersebut?

“Baik, ini saya ada satu lagi hasil kerja. Sila bangun siapa yang menulisnya!”, Dr. Mustafa Abu Zaid memberikan arahan. Kali ini lain sedikit nada suaranya.

Sahabat kami, Hakim (bukan nama sebenar), terus bangun. Kelihatan agak resah di wajahnya.

“Kamu pelajar tahun empat?”, tanya Dr. Mustafa.

“Ya!”, jawab Hakim perlahan.

“Ini hasil kerja pelajar tahun empat? Kamu dari negeri mana di Malaysia?”, soal Dr. Mustafa. Keras!

“Saya dari Johor”, jawab Hakim.

“Ohh, patutlah!”, simpul pensyarah kami, sekali lagi.Habis semua orang terpinga-pinga. Tambah kebingungan.

AKSES FIKRAH

Saya tersenyum, sekadar menggelengkan kepala. Saya faham benar akan Dr. Mustafa Abu Zaid. Beliau mengajar kami subjek Dakwah Islamiyyah, subjek yang sangat berkesan dalam proses mengakses fikrah pelajar-pelajar Syariah tentang tanggungjawab dakwah dan perjuangan.

Jangan pula ada yang beranggapan, hanya dengan menjadi pelajar Syariah, sudah tentu ada fikrah tentang tugas dakwah warisan Anbiya’ itu. Belum tentu. Dr. Mustafa Abu Zaid sangat arif tentang hal ini dan beliau tidak mensesiakan setiap ruang dan peluang untuk ‘membasuh’ fikrah anak muridnya.

Mungkin sebab itu ramai pelajar Malaysia tidak suka dengannya. Tetapi beliaulah pensyarah yang paling saya minati. Sukar untuk saya ungkapkan, tetapi soalannya sentiasa menarik perhatian saya, dan jawapan saya pula selalu sesuai dengan kehendaknya. Hasilnya, Alhamdulillah, markah peperiksaan bagus. Hubungan juga bagus. Lebih dari sekadar pensyarah dan pelajar, tetapi pendidik dan mutarabbi dari kalangan kami.

KAJIAN GERAKAN

Kali itu, Dr. Mustafa Abu Zaid memberikan assignment kepada kami. Beliau mahu kami mengkaji dan menulis tentang gerakan atau parti yang wujud di negara  masing-masing. Satu contoh gerakan yang mendukung idea Islam, idea Nasionalisma, idea Sosialisma dan satu idea lain yang wujud.

Saya gembira sekali dengan tugasan sebegini. Hampir seminggu saya menyelongkar perpustakaan universiti dan kedai-kedai buku di Amman untuk mencari bahan. Terkasima juga bertemu dengan tulisan-tulisan pemimpin PAS dan ABIM yang diterjemahkan ke Bahasa Arab, termasuk juga buku-buku yang disunting oleh Sheikh Azzam al-Tamimi.

Tentu sahaja di ketika itu (1995), belum ada apa yang dinamakan sebagai internet, dalam dunia pengajian kami.

Bagi pelajar yang biasa dengan usrah, tentu sahaja assignment sebegini tidak sukar. Tahu hujung pangkalnya. Tetapi bagi yang tidak pernah peduli dengan Tarbiyah, dengan dakwah, bertemu kesulitan yang besar untuk menyelesaikannya.

KE PEJABAT

Kami keluar kelas bagai cacing kepanasan. Ada yang marah, ada yang ketawa, ramai yang tersenyum dan terus diam. Saya bergegas mengejar Dr. Mustafa Abu Zaid ke pejabatnya kerana beliau berpesan begitu. Turut bersama semasa itu ialah Ahmad yang juga peminat Dr. Mustafa Abu Zaid.

Di pejabat beliau, beliau meminta kami menjelaskan dengan lebih terpeinci tentang suasana politik di Malaysia. Beliau khuatir dengan Anwar Ibrahim yang dilihatnya mengkhianati perjuangan Islam.

“Jangan sampai jadi macam Anuar Saddat!”, katanya, merujuk kepada bekas Presiden Mesir yang muncul dari khemah al-Ikhwan al-Muslimun tetapi bertukar menjadi musuh paling keras dan kejam terhadap Ikhwan.

Saya melihat di atas meja beliau ada buku BACAAN, yang menjadi rujukan golongan Anti Hadith di Malaysia. Manalah ‘Tok Sheikh’ ini dapat naskhah itu, kami berdua kehairanan.

PEPERIKSAAN LISAN

Semasa kami sedang berbual, tiba-tiba pintu bilik Dr. Mustafa diketuk. Seorang pelajar Malaysia muncul dan memberi salam.

“Urusan apa?”, tanya beliau.

“Ujian Satu subjek Aqidah 1″, jawabnya. Saya dan Ahmad beralih ke tepi.

“Kamu sudah selesai baca buku Ubudiyyah karangan Ibnu Taimiyah itu?”, soal Dr. Mustafa Abu Zaid.

“Sudah, Alhamdulillah”, balas beliau.

“Baik, silakan duduk. Soalan pertama saya, kamu parti mana?”, tanyanya. Pelajar itu, dan kami berdua sama-sama tercengang.

“Err… err…!”, beliau serba salah mahu menjawabnya.

“PAS atau UMNO?”, soalnya terus.

“Bukan, bukan! Bukan PAS, bukan UMNO!”, jawab beliau. Cemas!

 “Habis? ABIM?”, Dr. Mustafa Abu Zaid menyoal lagi untuk memudahkan jawapan.

“Ya…”, jawab pelajar tersebut.

“Baik. Soalan kedua saya, hasil bacaan buku Ubudiyyah itu, terangkan kepada saya bagaimana ABIM faham Islam?”, soalan Dr. Mustafa Abu Zaid makin ‘telanjang’. Tembus dan telus.

“Err… err…”, gugup sekali pelajar tersebut mahu menjawab soalan itu. Tentu sahaja tiada dalam jangkaannya akan disoal sedemikian rupa. Saya dan Ahmad juga resah mendengarnya.

“Saya mudahkan soalan saya ya. Macam Islam PAS atau macam Islam UMNO?”, Dr. Mustafa menembak soalan lagi.

“Tidak, tidak! Bukan macam PAS, bukan macam UMNO. Kami tengah-tengah!”, jawab beliau.

“APAAA!!!”, Dr. Mustafa sangat terkejut. Merah padam mukanya.

Kami kesejukan. Silap benar jawapan sebegitu wahai saudaraku…

“Tengah-tengah!!! Tiada tengah-tengah dalam masalah ini. Sama ada kamu pilih Islam atau kamu pilih Jahiliah. Mereka yang baina baina (tengah-tengah) hanya kaum yang bersekongkol dengan Nifaq. Adakah kamu maksudkan ABIM begitu?”, soalnya lagi.

“Tidak, tidak… bukan begitu!”, jawab pelajar itu. Wajahnya sungguh panik.

Saya dan Ahmad meminta izin untuk keluar. Kasihan melihat pelajar tersebut yang tersepit dan terjerat.

“Jangan! Duduk sini”, tegas Dr. Mustafa Abu Zaid menahan kami.
Saya dan Ahmad duduk semula.

“Habis, bagaimana sebenarnya Islam yang kamu fahami dan perjuangkan. Terangkan kepada saya”, ujar Dr. Mustafa.

“Saya tidak tahu!”, balas pelajar itu perlahan. Sayu bunyinya.

“Kamu bilang kamu sudah habis membaca kitab Ubudiyyah. Tetapi kamu tidak dapat jelaskan Islam apa yang kamu perjuangkan. Wallahi, kamu belum faham apa yang Ibnu Taimiyyah cuba sampaikan dari buku itu. Pergi balik dan baca semula. Setelah faham, baru datang jumpa saya dalam tempoh satu minggu”, Dr.Mustafa Abu Zaid meredakan kemarahannya.

Biar pun beliau seorang yang tegas, tetapi ketegasannya ialah pada menegaskan fikrah dan kefahaman. Dalam bab peperiksaan dan pemarkahan, beliau seorang yang bertolak ansur dan memberi peluang kepada pelajarnya.

KELAS BERIKUTNYA

Dua hari selepas itu, kami masuk semula ke kelas Dakwah Islamiyyah.Jam sudah sedikit lewat. Kami hampir-hampir sahaja mahu meninggalkan kelas kerana Dr. Mustafa Abu Zaid amat jarang tiba lewat ke kelas. Beliau muncul tetapi wajahnya kemerahan.

“Saya kecewa!”, katanya memulakan kelas kami.Dewan Teater 5 itu sepi. Tentu ada sesuatu yang tidak kena.

“Saya telah dipanggil oleh Dewan Senat kerana ada di kalangan kamu yang mengadu dan menuduh saya menyebarkan propaganda di dalam kelas!”, sambungnya lagi.

“Kamu tahu apa itu propaganda? Iaitu kenyataan tanpa dalil dan pembuktian. Apakah ada mana-mana keterangan saya yang tidak merujuk kepada dalil? Cakap!”, tegas guru kami yang seorang ini.Saya sendiri sejuk-sejuk tangan dan leher dibuatnya. Gerun.

“Salman! Mana satu Salman? (bukan nama sebenar)”, beliau memanggil nama pelajar yang membuat pengaduan tersebut.

Seorang rakan kami dari Indonesia bangun.

“Oh, kamu! Apa alasan pengaduan kamu?”, tanya beliau.

BERANI MENJAWAB

Salman menegaskan bahawa beliau tidak suka dengan idea assignment tentang gerakan dan parti yang diberikan tempoh hari. Katanya, subjek Dakwah Islamiyyah sepatutnya mengajar tentang cara-cara berdakwah, bukannya bercakap tentang politik kepartian.

Dr. Mustafa Zaid, merah padam mukanya.

“Kamu sudah baca silibus subjek ini?”, soalnya lagi.

“Sudah doktor!”, balas Salman.

“Faham isi kandungan dan matlamatnya?”, tanya beliau.

“Faham”, jawab Salman.

Wallahi, kamu tidak faham satu apa pun dari silibus tersebut!!!”, marah Dr. Mustafa Abu Zaid.

Kelas menjadi sepi. Tegang, bukan tenang.

AYAH, BUKAN PENSYARAH

“Kamu semua dengar sini. Aku mengajar kamu bukan kerana mencari duit. Aku bukan berdiri di sini sebagai pensyarah. Aku adalah bapa, dan kamu anak-anakku. Aku mengajar kamu agar kamu hidup menyembah Allah. Jangan jadi musuh Allah, apatah lagi musuh Allah berijazah Syariah! Jika kamu mlaporkan kepada Raja sekali pun dan aku dihukum bunuh, ketahuilah bahawa syahidnya aku adalah kebanggaan isteri dan anak-anakku!”, Dr. Mustafa Abu Zaid bersyarah.

Wajah dan janggutnya basah dengan air mata.

Saya juga gagal menahan sebak. Puas mengelap air mata, kerana saya tahu Dr. Mustafa memaksudkan apa yang diperkatakannya.

“Kelas tamat untuk hari ini. Kamu semua jangan datang ke kelas ini lusa, kecuali setelah kamu tahu apa maksud Surah al-Dzaariyaat ayat 56!”, beliau terus melangkah keluar dan memberikan salam kepada kami.

Ubudiyyah kepada Allah… itulah butir hikmah yang Sheikh Mustafa Abu Zaid semaikan ke jiwa kami.

Hanya jauhari yang kenal manikam!


Friday, February 11, 2011

Rejim Yang Zalim Mesti Ditukar!

Dunia Arab bergolak. Dari Tunisia ke Mesir dan biarlah ia menjalar ke seluruh pelusuk daerah yang dikuasai oleh rejim yang zalim; yang menghina agama, menghisap darah rakyat, memundurkan negara, memerintah untuk kepentingan kroni dan keluarga, mengaut kekayaan peribadi sedangkan rakyat dalam kemiskinan. Memang sepatutnya telah lama ia bergolak.

Mesir ada gas. Mubarak salurkannya kepada negara haram Israel. Israel membeli gas Mesir lebih murah dari rakyat Mesir sendiri. Sungai Nil yang subur tidak diusahakan secara bersungguh oleh Kerajaan Mesir, bahkan mereka masih mengimport makanan dari luar. Rakyat Mesir ramai yang hidup dalam kemiskinan. Dilaporkan lebih 42 peratus dari 81 juta lebih rakyat Mesir berada di bawah paras kemiskinan. Jutaan rakyat hidup tanpa rumah dan makan. Peranan Mubarak hanyalah menjaga kepentingan diri, kroni, Israel dan Amerika!

Malang sekali, ulama-ulama ‘pro rejim’ seperti Mufti Mesir yang hari ini sibuk menasihati rakyat agar jangan berdemonstrasi dan mengalu-alukan langkah Hosni Mubarak untuk proses pembaharuan, tidak pula selama ini membantah kerakusan kuasa yang berlaku. Pada hari pemerintah mengaut dan menghisap darah rakyat, mereka sibuk membahaskan isu-isu ketaatan rakyat kepada pemimpin dan tidak pula bertegas tentang kewajipan pemimpin menunaikan hak rakyat. Jika Hosni gagal membuat perubahan dalam masa 30 tahun memerintah, apakah mungkin dia boleh melakukannya dalam masa 7 bulan yang dijanjikan?! Jika mampu pun, bererti dia selama ini khianat kerana tidak melakukan pembaharuan itu dalam masa 30 tahun tiba-tiba hari ini dia menyatakan ia boleh dilakukan dalam masa 7 bulan!.

Hari ini golongan agamawan khususnya dari aliran ‘salafi’ sibuk membahaskan tentang demokrasi dan demonstrasi bukan dari ajaran Islam. Bagi saya itu adalah persoalan persepsi bagaimana kita memahami demokrasi dan dalam konteks apa demokrasi itu dilihat. Kita patut bertanya mereka apakah pemerintahan otokrasi atau kukuh besi itu dari ajaran Islam? Apakah membiarkan pemerintah menghisap darah rakyat tanpa membantah itu dibenarkan oleh Islam?

Persoalan falsafah dan konteks demokrasi dan demonstrasi memang patut dibincang dan dihalusi di sudut fekahnya. Namun adalah tidak adil apabila rakyat bercakap soal demokrasi dan demonstrasi lalu fatwa haram atau bid’ah dikeluarkan, sedangkan ketika pemerintah mengamalkan kuku besi, kezaliman, rasuah dan merompak hasil negara, golongan agama ini muncul dalam media untuk hanya mengingatkan rakyat tentang syurga dan neraka, tetapi tidak pula membaca nas-nas agama yang mengingati pemerintah bahawa kezaliman mereka adalah dosa yang amat besar dan neraka yang bakal menanti. Apakah agama hanya candu untuk rakyat bawahan supaya dapat melupakan kerakusan orang atasan?! Nabi s.a.w bersabda:

“Sesungguhnya selepasku ini akan adanya para pemimpin yang melakukan kezaliman dan pembohongan. Sesiapa masuk kepada mereka lalu membenarkan pembohongan mereka dan menolong kezaliman mereka maka dia bukan dariku dan aku bukan darinya dan dia tidak akan mendatangi telaga (di syurga). Sesiapa yang tidak membenar pembohongan mereka dan tidak menolongan kezaliman mereka, maka dia dari kalanganku dan aku dari kalangannya dan dia akan mendatangi telaga (di syurga)” (Riwayat Ahmad, al-Nasai dan Ibn Abi ‘Asim. Dinilai oleh al-Albani. (lihat: Ibn Abi ‘Asim, al-Sunnah, tahqiq: Al-Albani, hlm 337-339).

Ya, tiada siapa yang bersetuju dengan demonstrasi ganas. Rakyat diharapkan keluar ke jalan dengan aman sebagai tanda bantahan atas kezaliman rejim-rejim mereka. Ia salah satu dari menzahirkan bantahan terhadap kemungkaran. Dalam hadis seorang lelaki datang mengadu kepada kepada Rasulullah s.a.w, katanya:
“Sesungguhnya jiranku menyakitiku”. Sabda Nabi s.a.w: “Keluarkan baranganmu dan letakkannya di jalan”. Maka lelaki itu mengambil barangannya dan letak di jalan. Lalu, setiap orang yang melintas bertanya: “apa yang berlaku kepadamu?”. Dia menjawab: “Jiranku menyakitiku”. Maka mereka berkata: “Ya Allah laknatilah dia, Ya Allah hinalah dia”. Dengan sebab itu, jirannya berkata: “Kembalilah ke rumahmu, aku tidak akan sakitimu lagi”. (Riwayat al-Bazzar dan al-Hakim dalam al-Mustadrak. Ahmad Syakir menilainya sebagai sahih).
Demikian, Nabi mengajar bahawa kadang-kala cara menyelesaikan kezaliman dengan mendapat sokongan ramai di jalan. Bantahan orang ramai boleh menakutkan orang yang zalim. Jika sekadar kezaliman jiran kita boleh bertindak sedemikian, apatahlagi kezaliman rejim yang jauh lebih besar dan sukar disingkirkan. Pasti sokongan yang lebih besar dan bantahan di jalan yang lebih hebat diperlukan. Apa yang penting, penunjuk perasaan tidak boleh menumpahkan darah sesama umat Islam dan rakyat, juga tidak merosakkan harta awam dan mereka yang tidak bersalah.

Dunia Arab dan Islam mesti berubah. Eropah telah lama menyingkirkan pemimpin mereka yang korupsi dan kuku besi. Kadang-kala hak binatang yang dinikmati oleh Barat lebih baik dari hak manusia yang hidup di bawah rejim-rejim yang berkuasa di Dunia Arab dan Islam. Jatuh! Jatuh! Jatuhlah segala rejim!

Thursday, February 10, 2011

Politik Kenapa Skeptik!

Apabila berbicara soal politik seolah-olah ia subjek yang berasingan dengan Islam terlalu skeptik. Politik adalah kotor itulah alasan yang selalu diuar.Ya.Politik kotor kerana kita membiarkan mereka yang tidak faham Islam sebagai pencaturnya.Hak Islam berada di sana.

Seolah-olah politik hanya untuk orang politik bukan milik kita seorang Muslim.Tidak mahu terlibat dengan politik soal kedua tetapi menjahilkan diri dengan politik adalah binasa kepada kita.Mari kita renung sejenak firman Allah dalam surah Az Dzaariyaat ayat ke 56:

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.

Ayat ini terlalu luar biasa maknanya.Muslim tidak mampu untuk tidak peduli kepada politik. Politik itu adalah seni mengatur kehidupan manusia, dan ia adalah salah satu juzuk terpenting dalam agamanya, Islam.Memencilkan diri daripada politik bermaksud meninggalkan cabang besar amar makruf dan nahi mungkar.Itu juga ibadat.Tidak mungkin tanggungjawab ini terbiar, melainkan pasti ada dosa dan fitnah yang mengiringinya.Lupakah kita  dengan ayat Allah dalam surah Al Baqarah ayat ke 30:

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerosakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."


Politik didefinisikan sebagai Hiraasah al-Deen wa Siyaasah al-Dunya bihi (memelihara agama dan mengurus tadbirkan dunia dengan agama itu) di dalam kitab al-Ahkaam al-Sulthaniyyah adalah peraturan Allah kepada tamadun manusia. Kehidupan berperaturan, terpelihara di antara peranan dan hak masing-masing, adalah kehidupan yang mengangkat darjat manusia sebagai makhluk penghulu yang tinggi.

Bagaimana boleh kita mendakwa telah beribadat kepada Allah sedangkan peraturan Allah  tidak kita tegakkan di muka bumi ini.Muslim boleh mengambil sikap non partisan sebagai satu bentuk pendirian politiknya. Mereka melaksanakan urus tadbir kehidupan manusia melalui badan-badan NGO atau pertubuhan kebajikan, mengikut kebolehan dan peluang masing-masing. Tetapi Muslim tidak boleh mengambil sikap tidak mengambil peduli kepada politik hanya kerana tidak mahu peduli kepada parti.

Lupakah kita Muslim yang urusan pengebumian jasad Nabi mereka jatuh nombor dua selepas keutamaan diberikan kepada soal kepimpinan dan ketertiban hidup yang menjadi Sunnah itu.Latar belakang kehidupan yang sebegini, menjadi penjelasan yang paling terang lagi rasional mengapa para sahabat radhiyallaahu ‘anhum tidak bertangguh berkumpul di Tsaqifah Bani Sa’idah untuk mencari pemimpin menggantikan kekosongan posisi itu yang berlaku akibat kewafatan Rasulullah sallallaahu ‘alayhi wa sallam, biar pun jasad baginda masih belum lagi dikebumikan.

Tatkala disebut tentang solat, semua orang mendengarnya tanpa rasa terganggu.Apabila dibicarakan tentang zakat, aman sahaja manusia berfikir mengenainya.Tetapi jika politik disebut, semua menjadi panik.Terlalu skeptik.

You may not be interested in politics, but politics are interested in you“.[Michael B. Coleman]

Monday, February 7, 2011

Penulis Jutawan PTS

Dalam bahasa PTS, penulis yang dilabelkan sebagai 'penulis jutawan PTS' adalah mereka yang buku-bukunya berjaya dijual pada nilai lebih RM1 juta setahun.

Purata apabila nilai buku mereka terjual RM1 juta, royalti mereka adalah RM100 ribu setahun. Dengan andaian setiap tahun mereka berjaya menjual RM1 juta, maka dalam 10 tahun mereka menerima royalti RM1 juta.

Pada tahun 2009 hanya seorang sahaja penulis PTS yang berjaya dilabelkan sebagai 'penulis jutawan PTS', beliau adalah Tn. Abd. Latip Talib.

Bagi tahun 2010, jumlah itu bertambah menjadi 4 orang pada 2010. Mereka adalah:
  • Tn. Abd. Latip Talib (novel sejarah)
  • Tn. Muhammad Alaxender (buku sejarah Islam)
  • Pn. Chef Hanilieza (buku resipi)
  • Pn. Ain Maisarah (novel remaja)
Keempat-empat penulis itu mempunyai ciri yang serupa: Karya mereka sangat terfokus genrenya.

Sunday, February 6, 2011

From Sabah To Kelantan

Rasanya baru semalam aku meninggalkan bumi bertuah untuk bercucuk tanam. Kenangan mengemudi jentera kolej telah membawa kembali sahabat lama bertandang buat pertama kali ke bumi hijau. Tiada kenangan untuk dibanggakan tetapi mudah-mudahan menjadi sandaran ukhuwwah di sini dan di sana. Tidak disangka datangnya membawa madah gembira. Sekalung tahniah buat Fahmi dan Azizul yang bakal melabuhkan zaman bujang tidak lama lagi. Hmm. Kena tempah tikel awal2.


Teman-teman akrab pada hari itu sebahagiannya menjadi musuh bagi sebahagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa. 
[Az Zukhruf:43]

Bersama Azizul mantan YDP

Bersama Fahmi mantan NYDP 'orang kuat Keningau'

Saturday, February 5, 2011

Understanding Moderation

BY: DR. SALMAN AL-OADAH - ISLAMTODAY.COM

In order to discuss the topic of moderation effectively, it must be conceptualized in two ways: first as a principle that was brought by all the Messengers of Allah, and then as the optimal way of achieving a balance between the dictates of the mind and the needs of the soul.

Almost no one would dispute the idea that moderation should govern our thinking and our actions. The problem arises in how the principle of moderation can be put into practice. This is where we find many Muslims today disagreeing with each other.

When we look at Muslim history, especially Muslim intellectual history, we find that the problem of giving a practical expression to moderation was one of the greatest difficulties that Muslim intellectuals had to wrestle with. Their arguments were never about whether moderation should be accepted in principle. Instead, they argued about the proper conceptualization and practical application of this principle and how to define it both intellectually and within the framework of Islamic Law. Though everyone accepted it in principle, they argued ceaselessly about how moderation should be envisioned within an Islamic legal context.

It is quite easy to see how this disagreement affects the field of Islamic work today, because, in spite of a widespread theoretical acceptance of moderation, attempts at giving it a practical expression sometimes lead to conflicting goals and actions. This is not to say that all such conflicts are the result of preconceived conceptual differences in understanding moderation. Quite often, there are also social, personal, political, and economic factors at play.

In any case, it is possible for us to get an appropriate definition as well a good practical understanding of this universal principle of Islamic Law when we consider the following hadîth:

Abû Hurayrah relates that the Prophet (peace be upon him) said "This religion is easy. No one becomes harsh and strict in the religion without it overwhelming him. So fulfill your duties as best you can and rejoice. Rely upon the efforts of the morning and the evening and a little at night and you will reach your goal."

[In Sahîh al-Bukharî, The Book of Faith, under the heading "Religion is Easy..."]

These words of the Prophet (peace be upon him) put moderation into its proper Islamic context. It may be appropriate to note that many of the conceptual frameworks upon which we build our understandings are affected by our existing circumstances and our personal vision, and these can often run contrary to or undermine the proper understanding provided by Islamic Law.

This problem can crop up with any generally accepted concept or principle. The difficulty always arises in how people understand it and contextualize it. The supporters of every point of view have their own definition of the principle in question and their own ideas of how it should be put into practice.

When it comes to understanding the accepted principles of Islamic Law, however, definitions must be drawn from established sources and not purely from the discretion of the individual. Otherwise, the definition might yield a practical model that justifies nothing but itself. This is how many of the people engaging in Islamic work end up not recognizing any way of doing things other than their own. Many of our accepted and established principles have begun to take forms that represent only one narrow vision and that are unable to cope with the many demands of Islamic work and propagation.

It is not necessary - nor for that matter possible - for us to develop a comprehensive vision that can cover every aspect of Islamic knowledge and Islamic work that our people need. What is necessary, however, and quite possible, is for us to present a general framework to the people, especially the people who are involved in Islamic work, one which comprises the correct, Islamic understanding of moderation.

No general understanding of moderation will ever enjoy the unanimous acceptance that the principle of moderation does in the abstract. This is because any understanding of moderation is going to be based upon human discretion, and nowhere does the soundness of a principle guarantee the soundness of human judgment in applying it.

Therefore, we should be able to differentiate between three levels of understanding:
1. Acceptance of a principle and recognition that it is an intrinsic part of the faith.
2. Understanding the precepts of Islamic Law that are based upon that principle.
3. Understanding based on juristic discretion of how to apply the principle in a given circumstance.
This last level does not bring to the one who reaches it the same absolute conviction that the first two bring. The juristic opinions held by a group of people do not enjoy the sanctity and absolute certainty of principles of faith. The best that can ever be said about such opinions is that they are probably true with the possibility of their being wrong.

This is the distinction that must be made between the specific means used to address one of the many problems facing us today and the general, indisputable principles from which those specific means are drawn. It is a big mistake when we fail to distinguish between the meanings conveyed by our general principles and those conveyed by people's specific, juristic decisions. Sometimes, these juristic stances are nothing more than contemporary applications of old, blindly-accepted notions to which many Muslims dogmatically adhere. However, these notions are often depicted as supreme Islamic values or at least in a way that makes them seem original.

We need to have a good grasp of the problem we are trying to solve and get to its root, because we will never learn how to solve a problem unless we first understand it.

Therefore, we must look closely at the hadîth we mentioned earlier, wherein the Prophet (peace be upon him) says: "This religion is easy." Ease is moderation. So our religion is moderate and we as a nation of people are moderate. Allah says: "Thus We have made you a moderate nation". [Sûrah al-Baqarah: 143]

In this hadîth, the Prophet (peace be upon him) outlines the defining qualities of moderation:

1. He says: "So fulfill your duties…" The Arabic word used is "saddadû" which literally means to aim to hit something on target, like how an arrow hits its mark. This tells us that moderation never entails going outside of Islamic Law. The rulings of Islamic Law must be derived from the Qur'ân and Sunnah. The idea of ease and moderation in no way implies a relaxation of Islamic Law, nor does it imply that a person can follow his own inclinations in either his religion or his general dealings. Therefore, if we lose sight of Islamic Law and its rulings, an important quality of moderation will invariably be lost.

2. Then he says: "…as best you can…" After providing the first quality of moderation, he complements it with this so that those who are ill acquainted with the wisdom and purposes behind Islamic Law do not become insistent upon following a limited, personal vision in applying its rulings to themselves and others.

A person will not be able to fulfill his duties properly unless he realizes that he has limitations of mind and character that keep him from measuring up to those duties, no matter how clear and simple they may seem. Allah created Adam a creature with little self control. The human being cannot do anything perfectly without divine intervention, so this is why the Prophet (peace be upon him) says: "…as best you can", to indicate that perfection is not what is expected.

We can go as far as to say that demanding perfection from people runs contrary to the principle of moderation that we are discussing. When we consider that this refers to the established principles and rulings of Islamic Law, then how much less should we expect perfection when it comes to the juristic decisions made by human beings?

A poet writes:

When perfection is reached, it has to diminish,
So once something's called perfect, know it will perish.

The principle of moderation requires us to recognize that perfection cannot be maintained or even achieved.

3. Then he says: "…and rejoice." He does this after defining moderation with the idea of fulfilling one's duties to the best of one's ability, which defines moderation in an abstract, academic sense. Then we are told to rejoice. Here he is giving us glad tidings from Allah for our efforts. This helps us to move beyond the predicament of personal loyalties that can affect our works. Our religion and our deeds should never be turned into an expression of partisanship for this group or that.

The more the work that we and our brothers do in our various organizations and groups conforms to the Qur'ân and Sunnah and the more it is focused on calling to the faith, the more assured we can be that the true concerns of our religion will triumph over partisanship. Since working for the religion is a way of fulfilling our duty to Allah and of obeying His Messenger, we can see the importance of the glad tidings being referred to in the hadîth. Most of the problems and difficulties that exist between people are the result of partisanship and biases rather than on matters that are necessitated by Islamic Law. This is why sincerity to Allah in our actions has to be one of the principles of moderation.

This does not imply that all interpersonal loyalties should be abolished. That would be senseless. What it does mean is that our Islamic organizations and groups should not be turned into ideological rallying points to which we return for answers when we are faced with any issue of concern. Islamic Law must transcend our personal or partisan agendas when it comes to understanding and approaching the issues and problems that we face.

4. Finally, he says: "Rely upon the efforts of the morning and the evening and a little at night and you will reach your goal." This shows us that one of the principles of moderation is to consider what is possible and to stay within those limits. This goes for an individual as well as for the environment in which he works. It also means that everyone should work within his own capacity and avoid being obstinate when dealing with others.

The principle of doing what is within one's capabilities has both conceptual and practical dimensions. It means that we keep up our Islamic work while recognizing both the need for what we are doing and the limitations of our abilities. This gives us a good opportunity to embrace a large number of Islamic efforts of various types. We must never distance ourselves from others and their efforts unless they truly go against the established and indisputable principles and teachings of Islam. We should never do so on the basis of mere opinions and assumptions.

One of our problems is that the understanding of moderation that many people have does not comprise all four of these defining qualities. Some people overlook the need to adhere to Islamic Law in formulating their concept of moderation and come up with ideas that are ambiguous and ill-defined.

Others do just the opposite and go overboard in demanding perfection, though Allah demands from us only what is within our abilities, and that is with respect to the Law. Even less is expected of us in matters of juristic discretion. Today, however, many Muslims shun those who do not measure up to their opinions and views, and they are even more abhorrent to those who actually disagree with them. It is regretful that they shun each other on the pretense of defending established Islamic principles, like moderation, or following the Qur'ân and Sunnah, or adhering to the ways of the pious predecessors. When they do this, they fail to make a distinction between the principles themselves and their own understanding of them. Therefore, they accuse each other of violating the principles of Islam without realizing that their disagreement has little to do with these principles, but more to do with their own interpretations.

The fact that many Islamic workers fail to understand the concept of moderation correctly is the reason why there is an inexcusable amount of confusion and contradictions to be found within the field of Islamic work today. We must praise Allah that, in spite of this problem, there is still a lot of good being effected by our Islamic workers and there is still a lot of moderation and a lot that is praiseworthy.

We should not get the notion into our heads that we can solve the problem of immoderation by doing away with all the different groups engaged in Islamic work today. Not only is this impossible, I see it as quite unnecessary. What we should do is make this large number of groups work to our advantage. These groups can bring about more complete results by compensating for each other's weaknesses. Moderation does not mean that we must discard plurality. What it does mean is to accept these groups and guide them. This may be a difficult concept for many people to understand, but if you look carefully enough into the principles and general precepts of Islamic Law, you would find that it is in conformity with the guidance of the Prophet (peace be upon him) and the ways of the Rightly Guided Caliphs. This is an understanding that has the unique ability to include within it the entire Muslim nation.

Allah has praised those who upon hearing someone's words, take what is best from them. In some matters, what is best can depend on time, place, or circumstances. It can even vary from person to person. Allah has given humanity the free will to make choices. Though we accept that there is only one truth in any dispute - which is the opinion of the majority of the scholars of jurisprudence - determining who is on the truth is often a matter of personal judgment. What counts are the principles and evidence of Islam, not how much we are partial to a given side or how comfortable a certain view makes us feel.

We ask Allah to guide us to His straight way. Praise be to Allah, the Lord of All the Worlds.

Melamar Wanita Yang Baik

Dalam melamar, seorang muslim dianjurkan untuk memperhatikan beberapa sifat yang ada pada wanita yang akan dilamar, antaranya :

1. Wanita itu disunahkan seorang yang penuh cinta kasih. Maksudnya ia harus selalu menjaga kecintaan terhadap suaminya, sementara sang suami pun memiliki kecenderungan dan rasa cinta kepadanya. Selain itu, ia juga harus berusaha menjaga keredhaan suaminya, mengerjakan apa yang disukai suaminya, menjadikan suaminya merasa tenteram hidup dengannya, senang berbincang dan berbagi kasih sayang dengannya. Dan hal itu jelas sejalan dengan firman Allah Ta’ala, Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untuk kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Dan Dia jadikan di antara kalian rasa kasih dan sayang. (ar-Ruum:21) .

2. Disunahkan pula agar wanita yang dilamar itu seorang yang banyak memberikan keturunan, karena ketenangan, kebahagiaan dan keharmonisan keluarga akan terwujud dengan lahirnya anak-anak yang menjadi harapan setiap pasangan suami-isteri. Berkenaan dengan hal tersebut, Allah Ta’ala berfirman, Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami sebagai penyenang hati kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa’. (al-Furqan:74) . Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, Menikahlah dengan wanita-wanita yang penuh cinta dan yang banyak melahirkan keturunan. Kerana sesungguhnya aku merasa bangga dengan banyaknya jumlah kalian pada hari kiamat kelak. Demikian hadist yang diriwayatkan Abu Daud, Nasa’I, al-Hakim, dan ia mengatakan, Hadits tersebut sanadnya shahih.

3. Hendaknya wanita yang akan dinikahi itu seorang yang masih gadis dan masih muda. Hal itu sebagaimana yang ditegaskan dalam kitab Shahihain dan juga kiab-kitab lainnya dari hadits Jabir, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bertanya kepadanya, Apakah kamu menikahi seorang gadis atau janda? dia menjawab,”Seorang janda.”Lalu beliau bersabda, Mengapa kamu tidak menikahi seorang gadis yang kamu dapat bercumbu dengannya dan ia pun dapat mencumbuimu? . Kerana seorang gadis akan mengantarkan pada tujian pernikahan. Selain itu seorang gadis juga akan lebih menyenangkan dan membahagiakan, lebih menarik untuk dinikmati akan berperilaku lebih menyenangkan, lebih indah dan lebih menarik untuk dipandang, lebih lembut untuk disentuh dan lebih mudah bagi suaminya untuk membentuk dan membimbing akhlaknya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sendiri telah bersabda, Hendaklah kalian menikahi wanita-wanita muda, karena mereka mempunyai mulut yang lebih segar, mempunyai rahim yang lebih subur dan mempunyai cumbuan yang lebih menghangatkan. Demikian hadits yang diriwayatkan asy-Syirazi, dari Basyrah bin Ashim dari ayah nya, dari kakeknya. Dalam kitab Shahih al_Jami’ ash_Shaghir, al-Albani mengatakan, “Hadits ini shahih.”

4. Dianjurkan untuk tidak menikahi wanita yang masih termasuk keluarga dekat, karena Imam Syafi’I pernah mengatakan, “Jika seseorang menikahi wanita dari kalangan keluarganya sendiri, maka kemungkinan besar anaknnya mempunyai daya piker yang lemah.”

5. Disunahkan bagi seorang muslim untuk menikahi wanita yang mempunyai silsilah keturunan yang jelas dan terhormat, karena hal itu akan berpengaruh pada dirinya dan juga anak keturunannnya. Berkenaan dengan hal tersebut, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita yang taat beragama, niscahya kamu beruntung. (HR. Bukhari, Muslim dan juga yang lainnya).

6. Hendaknya wanita yang akan dinikahi itu taat beragama dan berakhlak mulia. Karena ketaatan menjalankan agama dan akhlaknya yang mulia akan menjadikannya pembantu bagi suaminya dalam menjalankan agamanya, sekaligus akan menjadi pendidik yang baik bagi anak-anaknya, akan dapat bergaul dengan keluarga suaminya. Selain itu ia juga akan senantiasa mentaati suaminya jika ia akan menyuruh, ridha dan lapang dada jika suaminya memberi, serta menyenangkan suaminya berhubungan atau melihatnnya. Wanita yang demikian adalah seperti yang difirmankan Allah Ta’ala, “Sebab itu, maka wanita-wanita yang shahih adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminyatidak berada di tempat, oleh karena Allah telah memelihara mereka”. (an-Nisa:34) . Sedangkan dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Dunia ini adalah kenikmatan, dan sebaik-baik kenikmatannya adalah wanita shalihah”. (HR. Muslim, Nasa’I dan Ibnu Majah).

7. Selain itu, hendaklah wanita yang akan dinikahi adalah seorang yang cantik, karena kecantikan akan menjadi dambaan setiap insan dan selalu diinginkan oleh setiap orang yang akan menikah, dan kecantikan itu pula yang akan membantu menjaga kesucian dan kehormatan. Dan hal itu telah disebutkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam hadits tentang hal-hal yang disukai dari kaum wanita. Kecantikan itu bersifat relatif. Setiap orang mempunyai gambaran tersendiri tentang kecantikan ini sesuai dengan selera dan keinginannya. Sebagian orang ada yang melihat bahwa kecantikan itu terletak pada wanita yang pendek, sementara sebagian yang lain memandang ada pada wanita yang tinggi. Sedangkan sebagian lainnya memandang kecantikan terletak pada warna kulit, baik coklat, putih, kuning dan sebagainya. Sebagian lain memandang bahwa kecantikan itu terletak pada keindahan suara dan kelembutan ucapannya. Demikianlah, yang jelas disunahkan bagi setiap orang untuk menikahi wanita yang ia anggap cantik sehingga ia tidak tertarik dan tergoda pada wanita lain, sehingga tercapailah tujuan pernikahan, iaitu kesucian dan kehormatan bagi tiap-tiap pasangan.

Wednesday, February 2, 2011

Tuesday, February 1, 2011

Adakah Dosa Dan Pahala Dalam Mengundi Pilihanraya?


Sebagai seorang muslim kita wajar prihatin terhadap perkara-perkara yang seperti ini. Apatah lagi, persoalan seperti undian dalam pilihanraya yang walaupun kelihatan sangat ringkas prosesnya, tetapi mempunyai kesan yang besar terhadap pembentukan sesebuah negara. Sekalipun kadang-kala ada perkara dalam sistem pilihanraya itu tidak memenuhi kehendak syarak, namun kepentingannya terhadap masa depan sesebuah negara itu tidak dapat dinafikan. Bahkan, jika diperhatikan sistem demokrasi jauh lebih baik dari segala sistem lain yang sedang diamalkan oleh kerajaan-kerajaan di dunia hari ini.

Melalui demokrasi, rakyat dapat bersuara dan memilih orang yang mereka redha sebagai pemimpin. Pemimpin pula tidak begitu berani melakukan kezaliman dan penyelewengan disebabkan mereka tahu rakyat mempunyai hak dalam menentukan kedudukan mereka. Ini lebih baik dari sistem autocracy. Bahkan demokrasi yang adil akan lebih baik dari pentadbiran sesetengah para pemerintah dalam sejarah umat Islam pada zaman Umawiyyah, ‘Abbasiyyah dan selain mereka yang bersifat kuku besi dan bertindak tanpa menghormati hak rakyat. Untuk menjawab persoalan saudara tentang dosa dan pahala undian dalam pilihanraya, maka saya sebut perkara-perkara berikut;

1. Pada asasnya dalam Islam, setiap amalan kebaikan atau yang membawa kebaikan maka pengamalnya memperolehi pahala. Begitu juga, setiap amalan buruk atau yang membawa keburukan maka pengamalnya memperolehi dosa. Besar atau kecil pahala dan dosa itu, bergantung kepada besar atau kecil kesan kebaikan atau keburukan sesuatu amalan. Maka, mengundi dalam pilihanraya boleh membawa kesan baik dan buruk kepada sesebuah masyarakat dan negara. Jika kesannya baik dan pengundi itu pula memang inginkan kebaikan tersebut, maka itu adalah amalan soleh. Jika kesan buruk dan pengundi tersebut memang inginkan kesan yang buruk itu, atau boleh menjangkanya, atau dia tidak peduli dengan buruk atau baik kesan undiannya itu, maka dia memperolehi dosa.

2. Hal ini dijelaskan oleh Nabi s.a.w dalam hadis baginda:
“Adakalanya seseorang kamu berucap dengan sesuatu kalimat yang diredhai Allah, padahal dia tidak menyangka ia akan sampai ke tahap sedemikian lalu dengannya Allah mencatatkan keredhaan untuknya sehingga hari dia bertemu Allah. Adakalanya seseorang kamu pula berucap dengan sesuatu kalimat yang dimurkai Allah, padahal dia tidak menyangka ia akan sampai tahap sedemikian lalu dengannya Allah mencatatkan kemurkaaan untuknya sehingga hari dia bertemu Allah”. (Riwayat Malik dan al-Tirmizi).
Kata tokoh ulama salaf yang besar Sufyan bin ‘Uyainah (meninggal 198H)
“Hadis ini bermaksud kalimah di hadapan pemerintah, kalimat yang pertama (yang direhai Allah) ialah yang menghalang kezalimannya. Kalimat yang kedua (yang dimurkai Allah) ialah yang mendorong pemerintah melakukan kezaliman” (Al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadhi, 7/21, Beirut: Dar al-Fikr).
Ya, berdasarkan hadis ini, sekalipun pengucapnya tidak menyangka sebegitu besar kesan ucapannya, atau menganggapnya kecil, namun disebabkan kesan baik dan buruk dari ucapannya itu, maka dia mungkin mendapat pahala, ataupun dosa. Hal ini samalah seperti undian dalam pilihanraya.

3. Maka undi juga bagaikan satu kalimat, bahkan mungkin lebih, yang mana ia boleh memberikan kuasa kepada seorang pemimpin yang baik atau kuasa untuk pemimpin yang jahat atau zalim atau tidak bertanggungjawab. Dalam hadis yang lain Nabi s.a.w menyebut:
“Adakalanya seorang hamba Allah mengucapkan satu kalimah yang menyebabkan dia tergelincir ke dalam Neraka yang jaraknya dalamnya antara timur dan barat” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Kalimat itu konteks demokrasi adalah undi dalam pilihanraya. Seseorang hendaklah berfikir kesan undi yang diberikan kepada seseorang calon terhadap negara dan rakyat.

4. Kita hendaklah sedar bahawa undian itu membawa maksud bersetuju memberikan mandat kepada seseorang bagi sesuatu kepimpinan. Maka, sebelum mandat tersebut hendak diberikan, wajib kita memastikan samada dia berkelayakan atau tidak. Ini kerana Allah berfirman: (maksudnya)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu memberikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu berhukum di kalangan manusia maka hendaklah kamu berhukum dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.” (Surah an-Nisa’ ayat 58).
Memberikan undi kepada yang tidak berkelayakan adalah mengkhianati amanah.

5. Untuk menentukan kelayakan seseorang itu, maka secara umumnya hendaklah dilihat kepada dua ciri yang penting yang disebut oleh al-Quran iaitu al-Qawiy (kuat atau mampu) dan al-Amin (amanah atau bertakwa). Firman Allah: (maksudnya)
“Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja ialah yang kuat lagi amanah” (Surah al-Qasas:26).
Dua ciri ini hendaklah dilihat dalam kerangka jawatan yang hendak diberikan. Jika jawatan itu membabitkan kewangan umpamanya, maka kemampuan dalam pengurusan kewangan dan digabungkan dengan nilai amanah dalam diri calon yang dilantik. Begitulah juga jawatan dalam bidang-bidang yang lain. Maka dilihat kemampuan calon dalam tanggungjawab yang hendak diberikan dan nilai amanah dalam dirinya.

6. Kata Syeikhul-Islam Ibn Taimiyyah dalam kitabnya Al-Siyasah al-Syar`iyyah fi Islah al-Ra`iy wa al-Ra`iyyah:
“Hendak dipastikan orang yang terbaik baik setiap jawatan, kerana sesungguhnya kepimpinan itu mempunyai dua rukun iaitu al-Quwwah (kekuatan/kemampuan) dan al-Amanah…Al-Quwwah dinilai pada setiap kepimpinan berdasarkan keadaannya. al-Quwwah dalam mengetuai peperangan merujuk kepada keberanian hati, pengalaman dalam peperangan, tipu daya peperangan kerana peperangan itu adalah tipu daya dan kepada kemampuan dalam berbagai jenis peperangan…al-Quwwah dalam kehakiman manusia merujuk kepada ilmu mengenai keadilan seperti yang ditunjukkan oleh al-Quran dan al-Sunnah dan kepada kemampuan melaksanakan hukum. Dan amanah pula merujuk kepada perasaan takutkan Allah, tidak menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang murah dan tidak takutkan manusia (sehingga mengabaikan Allah-pent.)”. (m/s 26. Kuwait: Dar al-Arqam)
7. Ertinya, sebelum seseorang itu mengundi, dia hendaklah memastikan individu yang diundi itu berkemampuan melaksanakan tanggungjawab bagi jawatan tersebut dan mempunyai nilai amanah dalam diri yang tinggi. Jika tidak, bererti dia memberikan undinya kepada orang yang zalim yang akan mengkhianati tanggungjawab. Apatahlagi, jika calon itu memang sudah ada rekod buruk dalam tanggungjawabnya. Juga, hendaklah dipastikan kesan undi itu tidak membawa keburukan kepada negara secara umumnya. Allah berfirman: (maksudnya)
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang membuat zalim nanti kamu akan disambar oleh api neraka sedangkan kamu tiada sebarang penolong pun selain dari Allah. kemudian (dengan sebab kecenderungan kamu itu) kamu tidak akan mendapat pertolongan” (Surah Hud: 113)
8. Maka, kita tidak boleh mengundi seseorang calon hanya kerana hubungan keluarga, atau sahabat atau parti. Sebaliknya, hendaklah atas kelayakan dan kesan undian itu. Justeru itu Nabi s.a.w tidak memberikan jawatan kepada Abu Zar kerana beliau tidak berkemampuan. Sekalipun Abu Zar seorang sahabat baginda yang soleh dan disayangi oleh Nabi s.a.w. Baginda bersabda:
“Aku bertanya: “Wahai Rasulullah! Tidakkah mahu engkau melantikku?”. Baginda menepuk bahuku dan bersabda: “Wahai Abu Zar, Sesungguhnya engkau ini lemah, sedangkan jawatan itu adalah amanah. Ia pada hari akhirat nanti adalah kerugian dan penyesalan, kecuali sesiapa yang mengambilnya dengan kelayakan dan menunaikan apa yang menjadi tuntutannya. (Riwayat Muslim).
9. Maka, undi dalam pilihanraya itu bukan sesuatu yang tiada nilai di sisi Islam. Sebaliknya, undi itu boleh menyebabkan seseorang mendapat pahala, ataupun mungkin mendapat dosa. Undilah yang berkelayakan dan memberikan kesan yang baik kepada negara dan rakyat.




Total Pageviews

free counters
Powered By Blogger